Sebagai seorang anak lelaki (dulunya anak-anak,
sekarang sudah cocok untuk beranak) gue masih sedikit bertanya-tanya kenapa
tidak memiliki ketertarikan pada tiga hal ini; Sepak Bola, Otomotif dan Games.
Dimana games yang gue maksud di sini adalah game online dan kekinian, apapun
itu. Sepertinya jarang, ada lelaki yang langsung tidak tertarik pada tiga hal
itu. Komplit.
2018/02/12
2018/01/15
Icup adalah seorang kawan yang telah gue kenal kira-kira selama
satu minggu terakhir. Meski terhitung sebagai teman baru, gue dan Icup sudah
lumayan saling mengenal. Kami sering berkomunikasi lewat whatsapp walaupun
kerjaan dia paling cuma kirimin foto-foto diri sendiri dengan beragam pose. Gue
nggak tahu, deh, maksudnya apa. Padahal kita sama-sama pria.
Di suatu kesempatan, Icup mengajak gue untuk mampir ke
rumahnya yang berada di kawasan Jatibening, Bekasi. Seumur-umur di Jakarta, gue
belum pernah yang namanya main ke daerah sana. Dengan gue yang sekarang stay di
Tebet, kata si Icup, sih, dekat. Walaupun gue kurang yakin mengingat si Icup sendiri
nggak pernah keluar rumah. Icup adalah anak rumahan yang abadi.
Dengan keinginan yang amat sangat, agar gue mampir
kerumahnya, Icup juga memberikan detail alamat. Ia memberikan beberapa
alternatif kendaraan umum mengingat kalau gue sendiri belum punya kendaraan
pribadi. Perdebatan soal kereta, busway dan angkot akhirnya berujung pada solusi
yang paling mendekati kenyamanan agar tidak tersesat: Ojek online.
Siapa bilang??!
Gue pernah, tuh, muter-muter bareng salah satu Driver Ojol
karena dia juga nggak tahu alamat yang dituju. Belum lagi handphone kami maps-nya
sama-sama eror. Kena, deh, lo. Kami malah saling curhat tentang alasan kenapa
bisa merantau jauh-jauh ke Jakarta. Alasan dia awalnya pengin jadi koki. Karena
belum kesampaian, jadi latihan dulu sebagai Driver Ojol. Gak nyambung!
Minggu, 14 Januari 2018
Dengan niat yang amat tulus, gue akhirnya bangun lebih pagi
dari biasanya. Sekitar setengah sembilan gue sudah siap berangkat setelah yakin
kalau sudah mandi, serta memiliki penampilan yang jauh lebih baik ketimbang
biasanya. Ada deg-degan yang berasa banget pagi itu. Terdengar bodoh jika
mengingat kalau yang mau gue temui hari itu adalah seorang pria.
Gue melangkahkan kaki untuk menuju Stasiun Cawang. Bersiap
mengambil arah Manggarai, transit ke arah Bekasi dan turun di Stasiun Buaran.
Kenapa harus ke Stasiun Buaran? Kenapa harus kereta? Kenapa tidak langsung memesan
jasa Ojol saja, untuk ke rumah Icup? Ada dua hal:
1. Gue takut driver yang gue dapat di daerah ini, malah belum tahu juga, soal daerah rumah Icup. Ntar kami malah gabut di jalan dan trek-trekan sama Ojol dari aplikasi lain.
2. Kalau pesan Ojol dari Stasiun Buaran, harganya lebih murah ketimbang langsung dari tempat tinggal gue. Selisih sepuluh ribu kan lumayan, buat beli koyo.
1. Gue takut driver yang gue dapat di daerah ini, malah belum tahu juga, soal daerah rumah Icup. Ntar kami malah gabut di jalan dan trek-trekan sama Ojol dari aplikasi lain.
2. Kalau pesan Ojol dari Stasiun Buaran, harganya lebih murah ketimbang langsung dari tempat tinggal gue. Selisih sepuluh ribu kan lumayan, buat beli koyo.
Sebagai perantau yang menjunjung tinggi kenyamanan dompet
dan saldo rekening, gue akhirnya memilih untuk bercumbu dengan kereta dulu.
Kebetulan KMT gue saldonya masih lumayan. Alhamdulillah, menghidari perilaku
mubazir. Lagi pula, Icup bilang paling enak ke rumahnya jam sepuluhan aja,
mengingat di rumahnya belum beres-beres, masak dan lain-lain. Dan gue naik
kereta juga belum sampai menyentuh pukul sembilan. Lumayan, jalan-jalan dulu.
Saat itu, penumpang kereta tidak terlalu ramai. Lumayan,
dapat tempat duduk meskipun sebenarnya gue sudah terbiasa untuk berdiri.
Berdiri di kereta, lebih keren, menurut gue. Apalagi kita gelantungan pake satu
tangan terus muka dibikin kusut dan sok pusing. Ngantuk-ngantuk seolah kita
adalah orang penting paling sibuk segerbong kereta. Beuh!
(Mungkin karena di Kalimantan nggak ada kereta, gue jadi
ngerasa kalau ini menyenangkan. Sebenarnya juga karena terlalu sering nonton
film Jepang yang banyak pakai latar stasiun, sih.)
Sesampainya di Stasiun Buaran, gue keluar dan kali ini
merasa makin asing. Gue suka gitu, sih. Suka ngerasa asik sendiri dan sekaligus
sok bingung saat sampai di tempat yang baru. Deg-degan gitu, kalau tersesat.
“Pak, kalo ke arah Kalimalang, Curug, Kapin, itu lewat mana?
Saya harus nunggu Ojol dimana?” tanya gue ke salah satu tukang kopi sepeda.
“Ohhh... abang tinggal tunggu di sini, aja. Di sisiku, Bang”
Ada hening sebentar.
“Di order aja, Bang. Bilang aja di seberang Stasiun Buaran,
depan Bajaj.”
“Kan, gak ada Bajaj, Pak?”
“Oh iya, ya. Bilang aja bajajnya lagi narik.”
“Oke, oke.”
Jujur gue gak tahu, sepenting apa informasi ‘Bajajnya lagi
narik’ buat Driver Ojol.
Akhirnya gue langsung dapat driver yang bersedia mengantar. Gue
menunggu sebentar (di sisi) tukang kopi bersepeda sambil membahas tawuran serta
pernyataan cinta keponakannya ke anak pejabat. Gue juga nggak ngerti mengapa kami
bisa berbicara secara lancar tanpa hambatan. Kayaknya, nyambung aja, gitu.
Setelah Pak Ojol datang, gue pun berpisah dari tukang kopi
bersepeda. Wajahnya yang kebapak-bapakan mendadak sangat haru karena mendapati
perpisahan ini. Maafkan aku, Pak, semoga ponakannya cepat punya istri~
Amiiinn... (Serius, mohon doanya).
Gue beruntung, karena Driver Ojol yang gue pakai jasanya ini,
ternyata tahu tempatnya. “Kapin, ya?”
“Yoi, Pak!” jawab gue, setelah melihat informasi alamat via
whatsapp dari Icup. Dan gue akhirnya turun di depan gerbang Jalan Kemang Satu, lalu
mengabari Icup kalau gue sudah sampai.
![]() |
Deg-degan begitu sampai di gapura Kemang Satu |
Akhirnya gue diberi petunjuk untuk masuk ke dalam dan
mengikuti beberapa arahan melalui whatsapp si Icup. Gue pun melangkahkan kaki. Dan
gue disambut di pertigaan gang. Namun bukan Icup yang ada di sana, melainkan seorang
gadis mungil berkacamata. Utusannya si Icup, mungkin.
Kami (gue dan gadis mungil berkacamata) menyusuri gang dan nggak
lama kemudian, sampai di rumah Icup! Gue lega karena tempatnya nggak jauh dari depan. Ya, walaupun gue udah nggak sebahagia tadi
sih, mau ketemu Icup. Habisnya gadis yang menjemput gue ini lebih menarik.
Masuk ke dalam, gue ketemu sama neneknya Icup. Gue bersalaman
persis seperti perilaku seorang calon menantu. Lah, emang gue mau kawin ama Icup?!
Pokoknya gitu, lah. Gue pun basa-basi sedikit, sambil menunggu respon dari
nenek. Mau baca bagaimana cara berkomunikasinya dulu, baru gue siapin jurus
buat mengimbanginya. Gue sangat berhati-hati kalau bicara sama orang tua.
“Capek, ya...? Perjalanan jauh, kan?” tanya si nenek.
“Iya, Nek. Jauh. Dari Kalimantan”
“Buset?!”
“Eh, maksudnya, dari Kalimantan, trus stay di Tebet. Nah,
ini baru dari Tebet, kok”
“Ooooh” lalu si nenek ketawa. Cara ketawanya membuat gue
berkesimpulan, ‘Nah! Bisa cocok nih!’
Akhirnya gue dan nenek banyak ngobrol. Dia juga sampe
nanya-nanya soal keseriusan gue terhadap seorang gadis yang gue maksud dipostingan sebelumnya. Agak malu-malu kuda, gue mengutarakan isi hati gue dengan
gaya yang biasanya. Serius, tapi santai. Yang penting nenek bisa menangkap apa
maksud dari hati gue.
Nah, saat itu si gadis mungil berkacamata tadi membuatkan
gue jus alpukat yang terlalu kental. Gue jadi ingat sabun colek, kalau lihat
jus ini. Tapi karena jus itu adalah hasil tangan si gadis tadi, jadi gue minum aja sabun
coleknya. Maksud gue, jus alpukatnya. Ia juga menyuguhkan segelas air dingin
dengan tangannya yang aduhai putih bersih. Gue jadi nggak perduli ini rumah Icup
atau bukan. Intinya, gue ketemu cewek cakep!
Si Icup pun keluar, masih pakai sarung yang sama seperti
foto-fotonya yang sering dikirim ke whatsapp gue. Mungkin itu sejenis sarung
favotinya dengan motif bulu-bulu. Icup terlihat lebih agamis.
Memasuki waktu makan siang, gue diajakin makan sama gadis mungil berkacamata itu. Si nenek masih kenyang, sedangkan Icup mukanya sedang
masam. Ogah makan. Katanya enakan nonton tivi. Lagian dia sedang malas ngapa-ngapain
karena ngambek. Dia ngambek karena yang datang adalah gue, bukan wanita
idamannya.
Bodo amat, Cup!
Gue pun makan siang bareng si gadis mungil berkacamata itu.
Kami menghabiskan makan siang yang berfaedah dengan santapan berupa sup, baso,
tempe oreg, ayam goreng dan sambel! Selain kenyang, gue juga bisa jadi
lirik-lirik dan bercengkrama dengan dia yang menggugah ketabahan hati tersebut.
Kami di meja makan malah sampai satu
jam. Keindahan Tuhan mana lagi yang kau dustakan, Cup?!
Waktu itu juga kita kedatangan keluarga si Icup yang lain.
Namanya Sakha, bocah tiga tahun yang langsung salaman sama gue waktu ketemu.
Bocah petakilan itu memberikan sebuah pengetahuan kalau makan nasi pakai es
krim itu enak! Dia membuktikannya!
Setelah makan siang, ehh... akhirnya Icup kedatangan tamu
istimewanya juga! (Iya, bukan gue). Tamunya adalah seorang wanita muda yang
masih perawan tulen. Icup pun cengar-cengir, menggoyang-goyangkan sarungnya,
seperti kebelet kawin. Karena itu pun, akhirnya dia mau makan. Makannya bareng si
wanita itu.
Waktu terus bergulir. Kami menghabiskan sore dengan banyak
menebar cerita dan tawa. Kami berkomunikasi dengan cara yang indah. Gue, si gadis mungil berkacamata dan nenek. Icup mah, masa bodoh. Dia lebih memilih mojok
berdua dengan ceweknya, sambil nonton Rumah Uya. Kata Icup, itu acara
favoritnya kalau bareng pacar.
Bodo amat, Cup! Bodo!
Cuaca lagi hujan sih, adem. Dan memang pada saat seperti itu, berada
dekat dengan sang pujaan hati benar-benar menghangatkan suasana. Sepeti, kamu
tidak ingin ada yang lain, datang mengganggu. Gue jadi makin akrab dengan gadis mungil berkacamata itu. Gue semakin sering menatap matanya dan jatuh ke tempat
dimana semua keindahan berada...
Aihhh...
Karena hujan yang masih belum menentu, kadang berhenti,
terus datang lagi, terus berhenti lagi, makanya gue memutuskan untuk pulang lebih
malam, nunggu hujannya benar-benar berhenti. Si Icup sudah mulai capek dengan tivi dan gue lihat dia seperti mencoba
menarik perhatian ceweknya dengan pura-pura mati. Mereka pun saling bergerak
erotis, saling menunjukkan kemampuan. Tapi tenang, mereka nggak mesum. Mereka
tidur di kamar transparan yang terpisah karena belum muhrim. Walaupun kabarnya,
mereka akan segera dikawinkan!
Ahelah... enak banget, Cup!
Malam harinya, jam delapan, setelah makan malam, gue bergegas pulang dan berpamit
kepada nenek. Hujan tak lagi menampakkan diri, hanya menyisakan dingin yang
romantis. Berdayu mengiringi pandanganku malam itu kepada gadis mungil
berkacamata yang ternyata tingginya cuma setenggorokan. Selain lucu, ia juga
baik hati karena setiap malam menyisihkan sisa makanan untuk ditaruh di depan pagar,
supaya bisa dimakan kucing liar. Ah... kamu memang keibuan!
Gue pun pergi diiringi lambaian selamat jalan oleh gadis mungil berkacamata tersebut. Sampai-sampai, rasanya berat untuk pulang. Gue pun
ikut melambaikan tangan sambil jalan mundur. Sekalipun ada kereta di belakang
gue, tetep aja nggak bakal gue lewatkan momen saling melambaian tangan ini. Rasanya
lebih manis dari jus alpukat pakai susu!
Dan, saat itu juga, Icup pun mendadahi gue dengan ekornya
yang bergoyang-goyang.
Eh, gue lupa bilang, ya? Icup itu adalah ikan cupang
peliharaan Lulu.
***
Epilog:
Pulangnya, gue naik Ojol lagi, ke Stasiun Buaran.
“Mau kemana, Bang, kok ke stasiun?” tanya driver ojol, di perjalanan.
“Mau balik, ke rumah, Bang. Gak jauh, sih”
“Oh... dari mana emang?”
Kalau gue jawab dari rumah Icup, kan nggak keren. Malam yang
dinginnya romantis ini nanti jadi ternoda karena gue ketahuan baru balik dari rumah
cowok.
Akhirnya gue jawab aja,
“Gue habis dari rumah calon nih, Bang.
Dia minta gue untuk kenalan sama keluarganya. Habisnya, gue mau serius sama dia”
Asik!
![]() |
Si Icup (kiri), sedang 'meleleh' karena tatapan ceweknya. |
2018/01/08
Hingga hari ini, seingatku, baru genap tiga puluh hari aku mengenalmu. Cukup singkat, mengingat kalau semuanya telah terungkap. Bukan rencanaku, apalagi rencanamu. Kita hanya terikat oleh sebuah benang yang tipis, namun sepertinya, cukup kuat untuk menjerat. Lagi pula, aku yakin kamu tidak pernah sekalipun terpikir kalau akan ada seorang pemuda yang berasal jauh dari Kalimantan sana, menuliskan ini.
Keyakinanku amat besar akan hal itu.
Kebun Binatang Ragunan dan para penghuninya,
mengejek aku hari itu. Tanpa kamu sadar, mereka menjadi saksi bisu atas lirikan
pertamaku padamu. Bahkan sebelum aku mengambil tempat duduk, semeja denganmu,
aku sudah memperhatikanmu. Ada daya tarik yang tidak bisa ku jelaskan begitu
tahu, ada yang seperti kamu di sana. Sesuatu yang, menarik diriku untuk
diam-diam, menaruh pandangan kepadamu.
Saat itu, aku sudah mulai merasa aneh.
Pertemuan kita yang kedua bisa dibilang, awalnya tidak
sengaja. Lagi-lagi, hanya seikat benang tipis yang menghubungkan kita. Asal tahu
saja, aku tidak akan pergi ke tempat kamu merayakan tahun baru, jika bukan
karena tahu kalau kamu ada di sana. Bagimu mungkin biasa saja. Tapi bagiku,
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seorang teman yang sudah mengunggah foto kalian
berdua saat itu. Aku jadi tahu, kamu ada di sana.
Diselingi canda tawa mereka-mereka yang sudah akrab
sejak lama, aku sebagai pendengar hanya menghabiskan malam pergantian tahun
dengan penuh ketenangan. Ada kenyamanan. Ada kamu, yang terpenting. Saat itu
aku sudah tidak hanya sekedar ingin melirik, melihat atau memandangimu dengan
durasi yang lebih lama. Tanda tanya akan bagaimana caramu menghadapi dunia,
mulai meluas di kepala.
Aku, ingin tahu kamu, lebih dari ini.
Belum ada pertemuan ketiga hingga tulisan ini aku
buat. Aku menanti hari itu dengan menghabiskan hampir setiap waktu senggang
untuk membaca tulisan-tulisan harian di blog pribadimu. Perlahan aku menemukan
jawaban, tentang teka-teki, bagaimana sejak awal aku sudah menaruh hati padamu.
Ternyata ada misteri yang menyenangkan. Ada senyum hatimu, yang
meruntuhkan bentengku.
Kamu, membuatku sadar bahwa mungkin, aku tidak lagi
sendiri. Mengetahui apapun tentangmu membuat aku ingin jujur. Membuat aku juga
ingin memberitahumu semua tentangku pula. Hingga saat kita kelak berdiskusi dan
menemukan kekosongan masing-masing, kita dapat pula, saling mengisi kekosongan
itu dengan hal-hal yang kita punya.
Berkatmu, aku kembali menemukan titik tuju. Suatu hal
yang ku rasa, seharusnya tidak datang secepat ini. Tidak seperti tiga menit
menyeduh mie instan dan langsung bisa dinikmati. Walau jujur, tiga menit
pertama aku mengenalmu, aku sudah menaruh hati.
Ku yakinkan hatiku untuk semakin hari, semakin
mendalami ada apa di balik layar dirimu. Walaupun belum semuanya, namun aku
hampir paham, kamu, sejatinya seperti apa. Selanjutnya, aku akan terus, dan
terus mencari tahu. Aku ingin menjadikanmu tempat dimana aku bisa dipercaya,
diyakini dan merasa terlindungi. Aku ingin kamu memastikan juga, apakah kamu
nyaman dengan benang tipis ini, atau tidak. Mari, aku bantu.
***
Di balik kisah-kisah laluku, terkadang aku sangat
sadar tentang siapa aku sekarang. Seumuranku, menemukan yang terbaik sepertinya
sudah makin gencar dilakukan. Sudah mulai letih mencari. Inginnya bertahan,
lalu berhenti sampai mati. Namun, seorang teman menyadarkanku. Aku tidak boleh
berhenti karena sadar ini sudah waktunya untuk berhenti. Tapi, berhenti saat
kamu, memang bisa kuajak untuk berhenti. Penjajakan diperlukan katanya, sampai
aku bisa benar-benar yakin denganmu.
Aku ingin mencobanya. Tidak. Aku ingin melakukannya.
Sebisa mungkin, aku ingin membawamu berhenti bersama. Aku ingin mengajakmu merajut
benang tipis itu menjadi sesuatu yang jauh lebih kokoh. Atau, kita pilin saja
menjadi sebuah titik. Lalu menyimpannya bersama, hingga menua.
Mungkin, aku hanya sanggup seperti ini. Bagaimanapun
kerasnya aku coba menuliskan kata-kata yang indah, tidak akan menandingi
keindahanmu yang membuat aku tidak sanggup berkata-kata. Keseriusanku padamu
tidak akan tampak dari sekedar jari-jemari yang bercumbu dengan keyboard
laptop. Kamu butuh, mengenalku lebih dari ini untuk mengetahuinya.
Memiliki satu titik denganmu, saat ini, adalah yang
kuinginkan. Aku ingin menjaga titik itu bersamamu, dan menjadikan putih di
sekitarnya sebagai lambang kebahagiaan. Tidak muluk-muluk, aku ingin mengajakmu
mencobanya. Keputusanku sampai di sini. Selanjutnya, kamu juga harus tegas,
alih-alih mengambil keputusan tentang kita yang menjaga titik ini.
Aku merapikan rencana di sini. Kamu menetap di sana.
Aku sudah berterimakasih kepadamu, karena bersedia untuk kukejar. Dan, kamu
tidak boleh bergerak. Aku berjanji padamu untuk bergegas ke sana. Sebagaimana inginmu
agar aku berlari, lebih kencang dari biasanya. Dan asal tahu, melalui tulisan
ini, aku ingin memastikan ketersediaanmu.
Bolehkah, aku menangkapmu?
2018/01/05
(Episode sebelumnya: Chapter 03)
"Terkait kasus kematian Rika, Trio Adam, Dhike dan Didit melakukan penelusuran untuk menemukan keberadaan Diana. Diana masih satu-satunya tersangka yang diburu. Namun, belum sempat sepatah kata pun terucap saat menemukan Diana, ia malah tewas tertembak oleh seorang sniper handal. Adam dan kedua kawannya mencoba mengejar pelaku yang berapa tidak jauh dari lokasi penembakan"
2018/01/02
(Episode Sebelumnya: Chapter 02)
"Tiba-tiba kasus tewasnya Rika di area sekolah, membuat Tujuh Penyihir dari Ekskul Misteri mulai aktif bergerak lagi. Dimulai dari penyelidikan Trio Adam, Didit dan Dhike. Mereka mengikuti Diana, salah satu kerabat Rika dan mendapati sebuah kenyataan yang mengejutkan. Terlebih lagi, Adam semakin terkejut karena Diana, terlihat memiliki sebuah aura yang persis dengan Rika."
Menandai awal tahun 2018, tulisan ini sengaja gue
buat. Sengaja gak sengaja, dibuat karena kebetulan punya suatu hal yang memang
ingin dituliskan. Sengaja ingin dituliskan. Gak sengaja kepikiran apa yang mau
dituliskan.
Oke, cukup berbelit.
Sebelum mengetik tulisan ini, gue baru saja keluar
dari Stasiun Juanda. Ceritanya habis memadu kasih dengan kereta (gue ketiduran
dan gak sengaja nyium-nyium pintu kereta karena gue berdiri). Selepas itu, gue
menyusuri trotoar Jalan Juanda dan mendapati pedagang sepatu yang buka lapak di
pinggir trotoar. Iseng-iseng, gue nanya-nanya harga. Kebetulan ada sepatu yang
jenisnya sama dengan yang gue lagi pakai.
“Berapaan, nih?” Tanya gue.
“Wah... ini mirip dengan sepatu yang abang pake. Abang
pasti tahu, lah, harganya.”
Gue manggut-manggut.
“Tapi buat abang, mah, harga damai aja. Dua tujuh
lima, deh” katanya.
Gue mengerutkan dahi. Bukan masalah harganya. Masalahnya,
perasaan, kami gak pernah berantem.
Ngapa dia minta damai?
(SKIP)
Oke, setelah itu, gue kembali melanjutkan langkah
kaki menuju halte Transjakarta terdekat. Ada angin yang cukup kencang dan gue
berjalan sambil menyilangkan tangan di depan dada. Mendekap jaket. Sementara itu,
benak hati seperti ingin menuliskan sesuatu. Tetiba terpikirkan sebuah kata
yang mungkin cukup menjabarkan segala macam resolusi tahun 2018. Perlahan mulai
berurai di kepala dan gue berucap pelan,
“Ketenangan”
Gue butuh ketenangan. Setidaknya, setelah 2017 yang
penuh liku, gue ingin sejenak menikmati masa-masa yang tenang sambil mengulas
setidaknya ribuan hal yang sedang menggantung di kepala. Bermacam hal di 2017
yang gue lakukan, rasanya masih penuh dengan keterburuan. Kayak tergesa-gesa gitu,
dalam melakukan sesuatu. Hasilnya? Gue seperti makin jauh dengan apa yang kita
sebut impian.
Alih-alih kepala gue sudah terasa sesak oleh satu
kata itu, gue pun memutuskan untuk menulis ini. Setelah sampai di Halte
Harmoni, gue berjalan sedikit ke MOR di Jalan Gajah Mada dan memulai ritual
mengetik ditemani kopi hangat.
Cuss~
Ketenangan di 2018, khususnya gue peruntukan bagi
tulisan. Gue suka ngetik, atau nulis, lah. Meskipun gue belum cakap dalam
berbahasa yang baik. Kayak susah gitu, mau nulis yang formal-formal. Soalnya,
semenjak tiga tahun jauh dari dunia luar, membuat gue semacam kehilangan dan
bahkan tidak update terhadap beberapa kosa kata. Nah, ini aja gue sulit
jelasinnya gimana.
Pokoknya, ada rasa dimana gue ingin meluangkan waktu
di 2018 lebih banyak untuk menulis. Gak bisa dipungkiri, gue juga harus punya
pekerjaan tetap mengingat itu diperlukan untuk menyokong keuangan di
perantauan. Dan kini, gue sudah kerja. Tinggal gimana membagi waktu dengan hobi
menulis ini.
Sekalipun harapan gue, hobi ini kelak bisa jadi
sandaran hidup.
Bermula dari malam tahun baru 2018, gue melewatinya
di sebuah tempat yang pas dengan suasana hati kala itu. Tenang. Meskipun, ada sedikit
keinginan untuk merayakannya dengan kemeriahan, tapi ternyata gue gak salah
pilih tempat. Tidak. Mungkin, gak salah, kalau temen gue ngajak bermalam tahun
baru di sana. Di sebuah guesthouse baru di kawasan tebet. Maharani Guesthouse.
Melewati malam tahun baru di ketenangan, baru gue
rasakan kala itu. Saat pergantian tahun 2017 ke 2018 kemarin. Rasanya kurang
pas juga sih, gue hanya jadi pendengar di sana. Kayak gak bisa jadi diri gue
sendiri mengingat gue gabung dengan beberapa anak yang baru gue kenal. Gue emang
gitu. Semua yang udah tahu gue banget, pasti yakin, gue bukan anak yang mudah
diam dan hanya jadi pendengar. Tapi itu kejadian di malam tahun baru kemarin.
Karena malam itu tenang dan gue hanya sebagai
pendengar dengan keterdiaman, gue jadi banyak mendapat renungan-renungan ajaib
yang tidak sengaja datang. Seolah, tempat gue menjalani pergantian tahun itu,
telah menjadi takdir yang membuat gue harus memastikan sesuatu. Tenang dalam
merencanakan, menjalani ke depannya. Yap, sekali lagi, gak salah, gue
menghabiskan malam tahun baru di sana. Penuh dengan pembicaraan orang lain yang
menurut gue, sebagian, sangat bermanfaat.
Banyak kisah-kisah yang cukup menginspirasi di balik
canda tawa anak-anak yang mengabiskan malam pergantian tahun satu atap dengan
gue itu. Bercanda, tapi bermanfaat. Setidaknya, sebagian besar. Gue senang karena
setelah itu pemikiran gue jadi sedikit terbuka. Semacam dapat pencerahan untuk
melewati tahun yang baru.
***
Selamat tahun baru 2018.
Bagi sebagian orang, mungkin pergantian tahun adalah
sesuatu yang luar biasa, dengan berbagai alasan mereka. Bagi sebagian lagi,
mungkin malah kebalikannya. Dan gue, jelas adalah orang yang berada di tengah-tengahnya.
Karena tidak cuma tahun baru masehi, tahun baru hijriyah, atau bahkan minggu
baru, hari baru, selalu ada hal-hal yang gue rencanakan di awal. Meski beberapa
banyak yang lepas kontrol, setidaknya memulai sesuatu yang baru dalam kurun
waktu tertentu, bisa membuat gue sedikit menemukan harapan baru.
Karena buat gue, harapan punya kekuatan tersendiri.
Aduh... jadi ngelantur.
Intinya sih, gue hanya ingin menuliskan apa yang gue
pikirkan dalam upaya menjalani tahun 2018 ini. Kata mereka, resolusi. Tema 2018
dalam hidup gue, ya, ketenangan. Gue sudah terlanjur banyak mengambil keputusan
yang tergesa-gesa seperti yang gue tulis di postingan sebelum ini. 2017 memang
luar biasa! Saatnya melebarkan sayap di 2018!
Buat kalian yang juga punya segudang resolusi dan
mimpi di 2018, yuk semangat. Gapai bareng dengan jalan masing-masing. Gue percaya,
perjalanan kita pasti punya kisah yang berliku nan menyenangkan. Susah sedihnya
ada, sebagai bumbu tambahan.
Dan satu lagi, sejak Satu Januari, sepertinya kamu
bukan lagi hanya sekedar kenalan buatku.
‘Kamu’ di sini, bukan berarti makanan atau kereta
api.
Kalian bisa menyebut ‘Kamu’ ini, sebagai ‘Dia’.
Dia manusia.
Ahelah, ribet!
*Ditulis 01 Januari 2018, jam 23:45 WIB di sudut teras
MOR Gajah Mada.