‘For Stella’ adalah cerita fiksi
bersambung dengan genre
“komedi-romantis”. Penulis, Aziz Ramlie Adam, adalah seorang fans salah satu member JKT48 yang bernama Stella
Cornelia. Berkat integritasnya dalam mengidolakan idol group yang satu ini, maka melahirkan inspirasi tersendiri
untuk menghasilkan Fanfic for Idol ini.
Episode sebelumnya (part 23) : “Setelah
semalam mengadakan acara ulang tahun mendadak, Aziz dan kawan-kawan pergi
berlibur ke suatu pulau pribadi milik seorang teman, bernama Didit. Namun,
alangkah terganggunya weekend mereka
sesaat setelah Cindy … menghilang secara tiba-tiba”. Selengkapnya bisa baca DISINI.
Berikut adalah episode terbaru
(part 24), happy reading, guys!
Seorang lagi ...
“Kalian duluan aja istirahat, gue
sama Budi mau balik ke tempat yang tadi dulu,” kata gue, ke Adit dkk.
“Oke ... Oke .... Kabarin, ya ...
kalau udah ketemu, atau pas kalian butuh bantuan …” balas Adit yang sudah tahu
keadaannya, dan sekarang jadi ikut panik.
“Sip!” Gue beralih menepuk bahu
Budi, “ayo, kita ke sana.”
Budi mengangguk dan kami berdua
balik menuju jalan setapak tadi. Kali ini tidak terlalu teburu-buru, karena
Budi sendiri kelihatan begitu memperhatikan seluk beluk jalan itu. Wajahnya
terlihat sangat cemas.
“Cindy!! Cindy!!” Sesekali dia
berteriak sepanjang jalan.
Kami terus menelusuri jalan itu
secara lebih teliti.
“Ziz, apa nggak di dalam hutan,
ya?” Budi melihat gue.
“Terlalu bahaya, Bud.” Gue melirik
ke arah hutan, dan bergidik sebentar, saat melihat bagaimana seramnya. Padahal,
waktu itu masih sekitar jam 2 siang.
“Kita tanya bapak tadi aja,” kata gue,
memberi solusi.
“Okedeh ...” kata Budi, lalu lanjut berjalan.
Dari ekspresi wajahnya, terpancar rasa tidak sabar ingin segera bertemu bapak
itu. Seolah bapak itu benar tahu keberadaan Cindy.
Akhirnya kami sampai di ujung jalan
tadi, di pos kecil tempat bapak itu sedang asik meminum soft drink. Kami menghampirinya.
“Permisi, Mas ...” kata gue. Agar
terlihat akrab (dan seolah bapak itu masih kelihatan muda di mata kami), gue
memanggil dengan ‘Mas’.
“Ada apa?” tanya bapak itu, ketus.
Budi mendekat.
“Begini, Pak, apa bapak melihat ada
seorang cewek di rombongan kami, yang tertinggal atau lewat sini? Ciri-cirinya,
agak kurus, putih, matanya nggak terlalu sipit, berponi, bawa tas punggung
warna merah, terus ... rambutnya diikat ke belakang, dua ikatan, Pak,” kata
Budi, sambil menirukan sosok cewek yang rambutnya diikat ke belakang dengan dua
ikatan. Di mata gue, lebih mirip orang yang lagi menirukan gaya rusa kutub kena
diabetes.
“Hemm ... agak pendek ... kurus,
putih?” tanya bapak itu masih dengan nada ‘bodo amat’.
“Iya bener!” jawab gue dan Budi
bersamaan.
“Kalau tidak salah tadi lewat sini.
Pas saya tanya, katanya ...” lalu bapak itu menunjuk ke arah seberang jembatan,
“… mau ke mobil mengambil sesuatu yang ketinggalan.”
“Ohh …. ” Budi mengelus dada dengan
ekspresi lega, “Makasih, Pak!”
Lalu kami berdua kembali melintasi
jembatan. Sesampainya di ujung, kami menuju basement
tempat mobil diparkir.
Budi segera memanggil-manggil nama
Cindy dengan nyaring hingga menggema di seluruh basement. Hingga sampai di mobilnya. Ternyata, pintu mobil masih
terkunci rapat. Gue lihat Budi langsung merogoh saku untuk memeriksa sesuatu.
“Kenapa?” tanya gue.
“Ini .... ” Budi mengeluarkan
kontak mobilnya dari saku. “Kunci mobil ada sama gue, nggak mungkin Cindy mau
ngambil barang, tapi nggak ngomong ke gue.”
Kami seketika merasa kalau semua
ini terlalu aneh. Akhirnya, setelah memeriksa seluruh basement, kami kembali ke jembatan. Gue berinisiatif untuk bertanya
pada para penjaga di situ. Ada dua orang.
“Permisi, Mas-nya ... ada melihat
seorang cewek yang balik dari arah pulau itu nggak?”
“Loh ... Mas, yang tadi berombongan
melewati jembatan ini ‘kan?”
“Benar!” jawab Budi.
“Setahu saya, yang balik ke sini
semenjak rombongan Mas melintas ke sana, ya hanya Mas berdua ini,” kata salah
satu penjaga itu dengan ramah.
“Ha? Nggak ada yang lain?” tanya
gue.
“Nggak, Mas. Kami ber-dua dari tadi
stay di sini. Tapi cuma kalian yang
balik,” kata penjaga yang satu lagi.
“Kampret!” Budi lalu berlari
melintasi jembatan menuju ke arah pulau.
“Ah ... makasih infonya, Mas,” kata
gue, lalu berlari mengejar Budi. “Tunggu, Bud!”
Sesampainya kami di ujung jembatan,
Budi segera menuju pos bapak yang mengantar kami tadi. Setelah dicari, ternyata
... tidak ada seorang pun. Gue lagi-lagi berinisiatif untuk bertanya pada dua
orang petugas di dekat jembatan itu. Iya ... jembatan ini, ‘kan, dijaga dari
dua sisi.
“Mas, bapak-bapak di pos itu tadi,
ke mana ya?” tanya gue, sambil menunjuk ke arah pos.
“Bapak-bapak? Jangan bercanda, Mas.
Hanya kami berdua yang ada di sini dari tadi,” jawab mas penjaga itu, dengan
ekspresi yakin.
“Ciyus? Eh, maksudnya ... serius?
Mas nggak lagi pada bercanda, ‘kan? Terus bapak itu tadi yang mengantar kita
masuk, siapa?”
“Bapak-bapak yang mana, Mas?? Saya
beritahu, ya, hanya kami berdua yang berjaga di sini. Lagipula, siapa yang
mengantar kalian? Bukannya kalian tadi masuk sendiri setelah berhenti sebentar
di pos itu?”
“Loh ... kami berhenti di sana karena
minta diantar masuk oleh bapak itu, Mas. Mas nggak lihat?”
Kedua penjaga itu cuma
geleng-geleng kepala. Mirip Ondel-ondel yang bedaknya luntur.
Gue lagi-lagi merasakan ada ‘sesuatu’
(efek dari kata ‘bedak’) yang aneh. Gue menuju ke arah pos, di mana Budi masih
sibuk mencari-cari bapak itu.
“Bud ... ” kata gue, lalu
menceritakan kalau sebenarnya bapak itu tidak pernah ada.
“Apa????” Budi kelihatan mau
pingsan. Matanya terbelalak walaupun tetap saja sipit.
“Sabar dulu.” Gue menepuk bahunya,
“ntar sore kita cari lagi, oke! Kita balik dulu. Cuacanya juga makin panas”
“Yaudah .... ”
Budi terlihat sedih. Bagaimana pun,
yang hilang itu Cindy! Cewek yang paling disayangnya. Gue perlahan mengerti
juga gimana perasaannya. Gue jadi ingat ekspresi Ega juga begitu waktu mencari-cari
Ve. Walaupun tentu saja, ekspresi Ega jauh lebih abstrak dari Budi, dan ...
jauh lebih tua.
Gue berjalan di depan, sementara
Budi di belakang gue sambil sesekali memanggil nama Cindy. Tiba-tiba..
“Ziz, sini, deh!” Budi memanggil.
“Kenapa?” Gue berbalik, dan segera menggeliat
ke arahnya.
“Itu ...” kata Budi, lalu menunjuk
sesuatu di dekat semak-semak, “Punya Cindy.”
“Ha?”
Budi mendekati benda itu. Iya ...
sebuah benda berbentuk seperti bingkai foto. Namun, bukan bingkai itu
masalahnya, tetapi sapu tangan yang membungkus foto itu. Sapu tangan yang
selalu di bawa Cindy.
“Ini selalu dibawanya ke mana-mana
...” kata Budi, sambil menatap sapu tangan yang kini sudah ada di genggamannya.
*Lagu ‘Tak Gendong’ Mbah Surip
terdengar dari kejauhan*
“Em … coba gue lihat itu,” kata gue
sambil menunjuk sebuah benda yang dibungkus dengan sapu tangan Cindy tadi. Budi
memberikannya ke gue. Sebuah kondom. Eh, maaf, sebuah foto maksudnya.
Ada tiga orang di foto ini. Sudah
kusam banget, sampai laba-laba yang menempel di situ sudah tidak ber-ereksi. Di
foto itu terdapat dua orang pria dan seorang wanita. Salah satu pria terlihat
menggandeng tangan wanita tersebut.
“Ini ... kayakya gue pernah lihat ....”
Gue coba mengingat.
“Siapa?” tanya Budi.
“Oh iya, yang ini bokapnya Ve! Iya,
gue yakin. Walaupun di sini masih kelihatan muda banget!” seru gue, sambil
menunjuk foto seorang pria (bukan pria yang bergandengan tangan). Mungkin waktu
itu bokap Ve masih jomblo.
“Kok ... foto itu bisa ada di
sini??”
Gue geleng-geleng kepala, “Yaudah ...
kita balik dulu.”
Akhirnya gue dan Budi hanya kembali
dengan membawa sapu tangan dan sebuah foto ... (tidak ... tidak ada kondom).
**
“Iya! Ini bokap gue!” seru Ve
setengah kaget. Sekilas mirip Empu Gondrong yang gagal membuat Keris. “Loe nemu
di mana foto ini?”
“Di jalan setapak waktu mau ke villa ini,” kata gue, “Trus? Loe kenal
nggak, cowok sama cewek yang gandengan ini siapa?”
“Itu …. ” Ve mencoba mengingat, dan
sekarang mirip Empu Gondrong yang lupa kalau Keris-nya sudah dibeli oleh Ken
Jorok. “Kayaknya gue pernah lihat foto mereka juga di rumah bokap ...”
“Di rumah buaya?” tanya Adit, yang
datang sambil membawa minuman dingin.
“Iya. Di mana lagi?” kata gue.
Sekarang kami sedang berada di
sebuah beranda kamar yang luas. Gue, Ega, Ve, Adit dan Melo (iya ... gue tau,
cuma gue yang nggak punya pasangan). Dari sini, pemandangan ke arah hutan tadi
terlihat sangat indah, berhubung ini di lantai tiga.
“Masih nggak ingat?” tanya Melo
kepada Ve.
“Oh, iya!” seru Ve, “Ini
bokap-nyokapnya Gaby! Iya gue yakin. Bokap pernah cerita.”
“Eh??” Gue heran. ‘Kenapa foto ini bisa ada di sini?’ pikir
gue.
“Yaudah, gue ke bawah dulu,” kata
gue, lalu mengambil segelas minuman yang dipegang Ega. Sekilas wajahnya
kelihatan lebih seram dari kloset.
Gue menggelinjang menuruni tangga
ke lantai dasar. Di ruang tamu, terlihat Stella, Sonia, dan Sonya sedang
bercengkrama. Gue tidak terlalu perduli (padahal mata sudah cenat-cenut pas lihat
Stella).
“Mau ke mana? Oh iya, kabar Cindy
gimana?” tanya Stella. Ya, semua sudah tahu kalau Cindy hilang.
“Belum ada kabar ... emm, kalian lihat
Budi?” tanya gue.
“Itu ada di halaman belakang,
bareng Ayu sama Didit,” jelas Sonya.
“Oke, thanks,” kata gue sambil masih membawa segelas minuman di tangan
kanan, dan foto tadi di tangan kiri. Gue menuju halaman belakang.
Di sana sudah ada Ayu, Budi dan
Didit. Wajah Ayu terlihat makin sedih. Bagaimana pun juga, Cindy adalah sahabat
dekatnya.
Gue menghampiri mereka bertiga,
yang ternyata, Budi dan Ayu sedang mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang
pulau ini, dari Didit. Gue ikut menyimak, sambil sesekali meneguk minuman.
“Jadi ... kasus kayak gini pernah
kejadian juga?” tanya Budi.
“Iya ... lima tahun yang lalu.
Waktu itu pemilik pulau ini masih yang sebelum gue,” lalu Didit memberikan
sebuah koran dan memperlihatkan headline
halaman depan. Tulisannya : ‘Seorang anak gadis dikabarkan hilang saat berlibur
ke Poveglia Island, kurang-lebih setengah jam saat melintasi jembatan di bagian
belakang pulau’.
(Nama ‘Poveglia’ diambil dari nama
sebuah pulau misterius yang terletak antara Venezia dan Lido, Italia)
“Gila! Ini persis banget kayak
Cindy!” seru gue, yang kaget membacanya.
“Em ... Kak, terus gimana kasusnya?
Gadis itu ketemu?” tanya Ayu.
“Iya ... satu minggu setelah itu,
dia ditemukan di daerah belakang pulau. Kalau dari jalan setapak tadi, agak
masuk ke dalam hutan ...” jelas Didit.
“Alhamdulillah ...” Ayu menghela
nafas.
“Iya ... walaupun sudah berbentuk
mayat.” Didit menghempaskan diri ke sandaran kursi.
“Ha?” Gue, Budi dan Ayu seketika
kaget bersamaan.
“Ma ... mati?” kata Budi dengan
sedikit terbata-bata (bukan ... kita bukan mau bikin rumah). Gue perhatikan
tangan dan kaki Budi mulai gemetar. Gue coba menenangkan dengan menepuk-nepuk
bahunya.
“Em ... loe udah hubungin pihak
berwajib?” tanya gue, ke Didit.
“Udah, kok. Polisi lagi di
perjalanan ke sini.”
“Baguslah .... ” Gue merasa sedikit
lega, “Yaudah ... ntar sekitaran jam 4 kita keliling lagi, ya, Bud. ‘Kan udah
agak sore, tuh. Gue ke atas dulu. Loe yang sabar”
“Iya ... Thanks bro ...” jawab Budi, lesu.
Gue segera beranjak dari sana
menuju kamar di lantai tiga. Saat gue lihat di ruang tamu, hanya ada Sonia dan
Sonya.
“Em ... Stella mana?” tanya gue ke
mereka berdua.
“Katanya tadi mau jalan-jalan
sebentar. Tapi kakak kayak nggak mau ditemenin gitu. Bahkan, dia sempat
marah-marah pas aku sama Kak Sonya mau ikut,” jawab Sonia.
“Loh ...? Kalian nggak ngikutin
diam-diam gitu?” tanya gue lagi, sambil sekarang mendekati mereka, lalu duduk
di atas kompor (di sofa maksudnya).
“Dia marah, Ziz .... Kita sempat
takut juga. Tapi gue yakin, dia baik-baik aja. Dia cewek yang kuat. Walaupun
gue jadi khawatir ...” kata Sonya.
“Ntar. Sekuat apapun, dia tetap
cewek ...” Belum selesai gue bicara, Sonia menyahut.
“Oh, iya! Tadi katanya kakak nggak
mau diganggu. Dia pengin nostalgia karena pernah ke sini lima tahun yang lalu.
Walaupun aku sebenernya nggak ingat kapan Kak Stella pernah ke sini ...”
“Lima tahun ... yang lalu ...?” Gue
merinding. Seketika gue panik dan beranjak dari sofa.
“Eh, tunggu!” kata Sonya, lalu dia
bareng Sonia mengikuti gue dari belakang.
Gue berlari menuju halaman villa, mencari-cari di manakah sosok
Stella. ‘Ke arah kiri ... jalan setapak.
Ke arah kanan ... ke depan pulau, gue ke mana nih???’ pikir gue, kacau.
“Kak!” teriak Sonia dari belakang
gue.
“Sabar ... gue juga ngerasa nggak
enak, nih!” seru gue, panik. Mimik wajah gue sudah mirip Einstein yang mendadak
lupa; 1+1= berapa?
Karena keributan di luar, seketika
Budi, Didit dan Ayu, datang menghampiri. Budi bertanya dan gue menjelaskan,
kalau Stella mengalami hal yang sama seperti Cindy. Menghilang ....
“Yaudah ... kita cari, ya ....
Lagian udah cukup sore. Panasnya udah berkurang. Emm ... Ayu, bisa panggilkan
Adit, Ega, Abeck, sama Ozi?” kata Didit.
Ayu mengangguk, lalu pergi ke
lantai atas untuk memanggil ‘para cowok’.
Akhirnya telah dibuat suatu
kesepakatan. Semua cewek : Dhike, Sonia, Sonya, Ayu, Melo, Ve, Sendy dan Ochi,
menunggu di villa, ditemani seorang
penjaga : Abeck. Sedangkan para cowok (selain Abeck) mencari ke dua arah. Ke
arah jalan setapak : Gue, Budi, Didit. Ke arah pantai (bagian depan pulau) :
Ega, Adit, Ozi.
“Pastikan semua pintu dan jendela dikunci,
ya. Sampe kita balik!” perintah Didit ke para cewek. Gue sempat kasihan juga
sama cewek-cewek, masa’ disuruh mengunci semua pintu dan jendela villa berlantai 4 ini??! Rempong, deh.
Tapi itu tidak penting sekarang.
Akhirnya gue, Budi dan Didit pergi
memeriksa jalan setapak tadi. Gue mulai memanggil-manggil nama Stella juga. Gue
seketika galau.
Tiba-tiba, handphone gue berdering.
“Ziz, kasih telepon ke Didit!” kata
Adit, dari seberang sana.
“Dit, buat loe,” lalu gue
memberikan handphone ke Didit. Budi
masih terlihat memandangi hutan di sekitaran jalan setapak.
“Halo ...” kata Didit, “Ah ...
Kakak ...?? Tapi ... temen aku hilang dua orang .... Iya ... sebentar, ya ...”
TUT TUT TUT.
“Siapa?” tanya gue.
“Kakak gue, rupanya yang lain tadi
pada ketemu dia di depan”
“Oh ... Kak Rica .... Terus? Dia
ngomong apa?”
“Katanya ... jangan main ke hutan
di belakang pulau, apa lagi kalau ketemu …”
Tiba-tiba Budi berteriak.
“Hey! Ada gerbang tua, nih!!
Penasaran gue!” teriak Budi yang sudah masuk ke arah hutan.
“Ntar ... kalau ketemu ... apa?
Tadi loe mau bilang apa?” tanya gue ke Didit.
“Itu ...” lalu Didit menunjuk
gerbang tua yang ditemukan Budi, “kata kakak gue jangan ... masuk ke sana ...”
Seketika gue dan Didit melihat ke
arah Budi, yang sudah memasuki gerbang itu. Sontak kami berteriak, lalu mengejarnya.
“Budi!!!”
**
Untuk episode selanjutnya (part 25)
: “Aziz, Budi dan Didit nekat memasuki ‘Gerbang Terlarang’ yang sudah
diperingatkan oleh kakak Didit, Kak Rica. Di tempat lain, arah pantai, Ega dan
lainnya menemukan Cindy yang sedang membawa sebilah pisau ...”
Tunggu kelanjutannya, ya!
Nyimak ajha dah sob,,, ditunggu kunjungan baliknya...
ReplyDeleteSaya sedang berkelana di blog anda :)
DeleteCerpennya keren..
ReplyDeleteMakasih :)
Deletewalaupun kalau diurutkan dari episode 1, bukan jdi 'cerpen', tapi 'cerpaaaaaaaan' *panjang*
hehehe