‘For Stella’ adalah cerita fiksi bersambung dengan genre “komedi-romantis”. Penulis, Aziz Ramlie Adam, adalah seorang fans salah satu member JKT48 yang bernama Stella Cornelia. Berkat integritasnya dalam mengidolakan idol group yang satu ini, maka melahirkan inspirasi tersendiri untuk menghasilkan Fanfic for Idol ini.
Episode sebelumnya (part 32); “Pernyataan Stella dan para cewek lain yang ingin mengikuti audisi JKT48 membuat Aziz dan kawan-kawan merasa bimbang untuk merespon apa. Di tengah kebimbangan, tiba-tiba saja halaman belakang rumah Aziz terbakar”.
Selengkapnya bisa baca DI SINI.
Berikut adalah episode terbaru (part 33), happy
reading, guys!
“Terus, gue harus bilang WOW gitu??”
Insiden Kebakaran
“Ziz,
tangkap!”
“Yosh! Nih, Dit! Oper ke
Ega!”
“Yosh!”
Inilah
kami, empat
pemuda gagah perkasa yang sedang galau berat karena mesti kerja keras untuk
memadamkan api. Jadi sistemnya, Ega stay
di dekat kolam, lalu Didit, gue, dan dekat api ada Ozi. Para cewek sibuk
bolak-balik juga membentuk barisan kaku untuk mengoper air dari kolam ke arah
api.
Sekarang ini, kami tidak bisa
berharap banyak pada pemadam kebakaran karena di komplek sebelah juga terjadi
musibah yang sama. Ini keren. Bahkan Eyang Subur pun akan enggan untuk menerima permintaan tolong
kami saat ini.
Bicara
soal Eyang... *salah naskah*
Bicara soal api, sumbernya
sendiri belum diketahui. Yang jelas, saat Cindy berteriak tadi, apinya sudah
mulai membesar dan melahap sebagian taman belakang. Memang tidak ada barang
mahal di sana. Hanya saja, kenangan waktu party
dua minggu yang lalu, masih terlalu berharga untuk dihapus dengan api.
(Baca
part 4 dan 5 untuk bagian ‘party’)
Setelah kurang lebih setengah
jam, api bisa dipadamkan dengan menghabiskan energi 4 pria dan 5 wanita serta
berpuluh-puluh liter air.
“Gila...
gue capek!” celetuk Ega. Ve hanya menatap dia dengan ekspresi yang menimbulkan banyak
tanda tanya. Ega tidak terlalu merespon.
Gue
yang masih
setengah panik, perlahan mendekati beberapa bagian yang sempat hangus terbakar.
Gue perhatikan sebuah bekas filter rokok mengambang di genangan air. Di rumah
ini, gue, maupun teman-teman, tidak ada satupun yang perokok. Gawat.
Pagar
belakang rumah gue memang tidak terlalu tinggi. Hanya sebatas tembok tebal dengan tinggi paling tidak 2
meter. Di atasnya dilengkapi dengan pecahan beling gitu. Karena di belakang
rumah gue hanya ada lahan kosong dekat rawa-rawa, takutnya nanti bakal ada orang
pacaran terus kabur ke rumah gue karena disatroni Satpol PP.
Di sebelah kiri ada rumah
Mova, dan di sebelah kanan cuma lahan kosong. Ini cukup membuktikan kalau kejahatan ini berasal dari
arah kanan. Kecuali Mova punya niat jahat ingin menjadikan gue manusia bakar.
Tiba-tiba terdengar suara yang
tidak asing lagi. Sirine mobil pemadam kebakaran. Iya... ini memang sudah
sangat telat. Perlahan gue sempat meragukan para om-om pemadam ini. Mungkin
armada pasukan mereka lagi banyak yang sakit kepala seperti di iklan obat
Parasut (merk disamarkan).
“Ziz!
Gue deg-degan bangeeeeet!!!” seru Ozi tepat di depan muka gue. Seram. Ternyata
wajah orang yang habis memadamkan api bisa semengerikan ini.
“Kampret… mahal lagi nih bayar air…” seru gue.
Ya… nggak kepikiran kata-kata lain saat itu. Gue cuma tidak habis pikir, kenapa harus rumah gue?
TING TUNG!
Suara bel pintu depan terdengar. Gue segera
mengangkat pantat dari tempat semula, menuju ke arah depan. Sesampainya, gue
segera membukakan pintu.
“Selamat malam, Pak” seru suara di depan pintu.
Sesosok om-om dengan pakaian merah memberikan sapaan.
“Oh… Malam, Pak”
“Apa benar, kejadian yang sama juga terjadi?”
Gue tahu apa maksud dari ‘kejadian’ yang
dimaksud bapak ini. Yang gue bingung, kenapa dia masih tanya kalau kejadian itu
juga terjadi di sini apa nggak??? Jelas-jelas apinya tadi lumayan besar. Preet.
“Em… maaf sebelumnya, Pak. Keterlambatan kami
membuat segalanya jadi runyam. Bisa kami lihat TKP-nya?”
“Ah… silahkan… di belakang.”
Bapak paruh baya yang sepertinya senior di Dinas
Pemadam Kebakaran itu, masuk menuju halaman belakang dengan ditemani oleh dua
orang polisi yang berumur sekitar 30 tahun-an. Rupanya kejadian seperti ini
lagi ramai di masyarakat.
“Sebenarnya di beberapa titik, kejadian ini
sudah terjadi juga, Pak. Malam ini, dengan hanya selang waktu beberapa menit, 5
titik terbakar secara berurutan” ucap salah seorang polisi berwajah kotak
kepada gue. Dia juga memperlihatkan gambaran peta dan menandai lokasi-lokasi
yang terbakar di malam itu.
Jika gue perhatikan lagi, sepertinya ini ulah
orang iseng. Terlihat dari titik kejadian, jika ditarik garis lurus, maka akan
membentuk seperti symbol bintang.
“Apa ada yang aneh waktu anda memadamkan api?
Emm… seperti ada barang bukti yang tertinggal?” tanya polisi yang satunya.
“Ada, Pak. Ada… Ini!” kata Cindy yang berlari ke
arah kami, dengan membawa bekas puntung rokok yang digenggamnya menggunakan
kertas.
Setelah diselidiki, ternyata, merk rokok yang
ditemukan di rumah gue dan di tempat lain ternyata… sama semuanya. Ini keren
banget. Ost lagu Detective Conan pun terdengar dari kejauhan.
Setelah menceritakan kronologi kejadian secara
detail (termasuk gue sempat garuk selangkangan pas lari ke arah api), para
petugas baik hati itu pun pamit pulang ke habitat mereka masing-masing. Untuk
urusan kelanjutannya, gue akan dihubungin sebagai korban kejadian. Tapi
Alhamdulillah, gue bukan korban pemerkosaan waria...
**
07.30
Gue membuka mata dengan kolor masih terpasang
di bagian bawah tubuh gue. Aman. Gue pikir, mimpi dikejar waria bisa berakibat
fatal. Ternyata, mimpi hanyalah mimpi. Gue aman.
Semalam, kejadian halaman belakang yang
terbakar sempat membuat gue panik setengah mati. Belum lagi kenyataan kalau
kemarin gue lupa cuci pakaian sehingga gue belum ganti celana dalam. Itu ngeri.
Semalam juga, para cewek-cewek yang pengin
ikutan audisi JKT48 sedang berlatih di rumah gue. Dan semalam juga, gue galau
harus mendukung atau kesal terhadap keputusan Stella dan cewek-cewek lainnya. By the way, jadi idol itu tidaklah gampang. Selain khawatir kalau Stella bakal
sering jatuh sakit, gue juga khawatir terhadap tatapan cowok-cowok mesum di
luar sana saat melihat dirinya. Kenapa gue khawatir? Karena gue juga pernah…
dilirik-lirik sama cowok-cowok berwajah mesum. Rasanya lebih dari kematian!
Pagi ini rencananya bakal ada misi baru, yaitu
penjemputan calon guru latihan tari Stella dan kawan-kawan, di bandara. Dia
temannya Stella, asli orang Jepang. Gue juga bingung kenapa Stella bisa punya
kenalan dari Jepang. Yang gue tahu, Stella belum pernah jadi TKI di luar sana.
Gue mengecek handphone sebentar, sekedar
melihat jam dan memastikan apakah mata gue sudah dalam kondisi segar atau
belum. Bangun pagi memang tantangan tersendiri untuk anak yang sudah lama tidak
sekolah karena masih menganggur setelah lulus.
Gue beranjak dari kasur. Belum saja pantat gue
dan kasur berpisah lama, handphone gue berdering. Gue lihat nomor yang
menelepon sepertinya agak gue kenal.
“Halo… Selamat pagi”
“Selamat pagi, Pak Aziz”
Gue merasa tua.
“Iya… Em… ada apa, ya?”
“Ini pak, kami dari kepolisian. Untuk tindak lanjut
kasus semalam, kami sepertinya menemukan beberapa titik terang. Bisa datang ke
kantor untuk kelanjutan penelitian, Pak?”
“Ah… Iya. Bisa… kira-kira jam berapa, Pak? Saya
harus menemui siapa?”
“Mungkin jam sepuluh, Pak. Silahkan langsung
menghubungi Pak Adrian saja di Kasat Reskrim”
“Jam 10… Oke, Pak. Saya usahakan tepat waktu.
Terima kasih.”
“Terima kasih kembali, Pak. Selamat Pagi.”
TUUT TUUT TUUT
Jam
10… gue mengerutkan jidat. Stella minta ditemani sekitar jam makan siang. Jam 1
kali ya. Ah…
Gue segera bergegas pergi ke kamar mandi buat
sarapan. Bukan… gue bukan mau ke kamar mandi, ngubek-ngubek jamban terus makan.
Tapi ya habis mandi, gue mau bergegas cari sarapan ke luar. Semoga pagi ini,
menjadi awal hari yang indah.
**
Singkat kata singkat cerita, akhirnya gue sudah
berada di samping pos gerbang utama di Kantor Polisi. Gue masih asik nongkrong
sambil meminum sebotol minuman soda dingin yang gue rasa sangat menyegarkan
untuk cuaca padang pasir ini. Masih jam 10… tapi panasnya luar binasa.
Lagi asik meneguk minuman, sebelum masuk ke
kantor, gue dikejutkan dengan kedatangan seorang gadis muda yang manis.
“Kakak… ruang Kasat Reskrim di bagian mana,
ya?”
“Ah… aku juga nggak tahu, tuh. Kamu mau nyari
siapa?”
“Pak Adrian… kebetulan kasus pembakaran di
rumah saya belum selesai.”
“Wah… jadi rumah kamu juga??”
“Eh? Jangan-jangan… rumah kakak?”
“Iya… rumah aku juga. Yaudah… kita cari bareng aja.
Em… nama aku Aziz, dengan dua huruf z”
“Nama aku Delima.” Kami bersalaman sejenak.
“Ayuk, Kak.”
Gue mengangguk. Akhrinya kami berdua bergegas
masuk ke dalam.
Gue sangat merasa ngeri kalau masuk kantor
polisi. Soalnya waktu kecil, gue pernah menemani bokap untuk perpanjangan SIM,
dan sempat melihat adegan para penjahat yang baru diturunkan dari mobil tahanan
di parkiran sebelah. Gue merinding karena wajah penjahat-penjahat itu terlihat
seram. Usut punya usut, ternyata mereka sempat jadi waria beberapa tahun
sebelum jadi preman…
Setelah menemukan ruangan yang gue rasa benar,
gue mengetuk pintu dan segera memberikan salam sembari membuka pintunya. Namun
di dalam, lagi-lagi gue bertemu dengan orang lain. Bedanya, gue kenal banget
dengan dua orang ini.
“Aziz??” seru mereka.
“Abeck…? Budi…?”
**
Untuk episode selanjutnya (Part 34); "Pagi itu, Aziz yang dikejutkan dengan kehadiran Abeck dan Budi di kantor polisi, membawa titik terang tentang kasus pembakaran yang sedang ramai terjadi".
Tunggu kelanjutannya ya!
Original Story : Aziz Ramlie Adam
Writer : Tukang Delusi
Editing : Stella-Hugs, Bukan Bima Satria Garuda #TeamForStella
Draft : 03-Mei-2013
hahahahaha seruu
ReplyDeleteKunjungan Malam Kawan... :D
Silahkan :)
DeleteSorry kalau situ jdi cenat-cenut habis baca tulisan saya. Huahahaha~
lagii lagii lagii :D
ReplyDeleteBayarr bayarr bayarr :3
Deletezzzz keren keren
ReplyDeleteSerius? Udah pantes dapat piala oscar belum? :|
Deleteuh...
ReplyDeleteDesahanmu mengalihkan duniaku...
Delete