‘For Stella’ adalah cerita fiksi bersambung dengan genre “komedi-romantis”. Penulis, Aziz
Ramlie Adam, adalah seorang fans salah satu member JKT48 yang bernama Stella
Cornelia. Berkat integritasnya dalam mengidolakan idol group yang satu ini, maka melahirkan
inspirasi tersendiri untuk menghasilkan Fanfic
for Idol ini.
Episode sebelumnya (part 27); “Perlahan pembongkaran
misteri pulau Didit, mulai menemukan titik terang. Dengan adanya perlakuan
Cindy dan Sonya di bangunan yang berbau, serta kembalinya ingatan Aziz tentang
sosok pria yang pernah ditemuinya dua tahun lalu, memberikan petunjuk demi
petunjuk akan kebenaran”. Selengkapnya bisa baca DI SINI.
Berikut adalah episode terbaru (part 28), happy reading, guys!
Pembongkaran
Misteri ‘Bagian Akhir’
Sepoi-sepoi
angin pantai di tengah malam seperti ini berhasil membuat gue tidak berhenti
mengeluarkan cairan yang khas sekali, dari hidung. Gue lihat Didit yang hanya
memakai baju hangat, nampak sangat biasa dengan cuacanya malam ini. Entah apa
karena dia pemilik pulau ini, atau karena ketebalan tubuhnya memang sangat
efektif untuk situasi seperti ini. Lain lagi dengan Budi. Gue bahkan tidak
sempat menghitung sudah berapa kali dia memasukkan telunjuk tangannya ke
hidung, dengan dalil kebersihan. Oke, gue tahu ini sebenarnya tidak penting.
Selama
perjalanan sendu yang seolah memakai soundtrack
lagu-lagu Om Sammy ini, kami banyak berbicara banyak hal. Tentang rentetan
kejadian aneh sejak kemarin, tentang pulau ini, tentang kebenaran, tentang
kejombloan gue, juga tentang ‘kenapa
Patrick nggak pernah pakai celana dalam?’
“Jadi…
sepertinya, apapun yang masih bergentayangan di pulau ini, nggak betah sama
kedatangan kita…” keluh Budi.
“Iya juga, sih…
Kejadian cewek-cewek yang kesambet juga pindah-pindah gitu…” kata gue.
“Kesimpulannya…
sebenarnya ada dua sejarah berbeda di pulau ini. Pertama, tentang virus seratus
tahun yang lalu. Kedua, tentang buronan yang ngebuat kebun pohon-boneka di
belakang. Ini seperti kolaborasi gitu…” Didit menambahkan.
“Hmm… jadi dua
setan ini ceritanya duet, ya…” kata Budi, sambil mengelus dagunya.
“Kalo menurut
pikiran orang bodoh, yaa… kayak gitu, deh…” Didit berkata dengan wajah polos.
“Jadi loe
ngatain gue bego, gitu??!”
“Udah… udah…”
gue mencoba membawa mereka kembali pada kenyataan kalau kita bertiga sedang
dalam misi yang penting. Pembongkaran misteri bagian akhir…
Memang kalau gue
pikir, saat ini terjadi dua kasus dalam pulau ini, di mana dari masing-masing
kasus ingin menguasai ‘tumbal’ sendiri. Jika dianalisa lagi, yang terjadi pada
Cindy adalah akibat dari kejadian seratus tahun silam. Sedangkan Stella, adalah
‘tumbal’ dari kejadian beberapa tahun lalu di mana arwah buronan yang pernah
bersembunyi di pulau ini, sibuk bergentayangan untuk mendapatkan persembahan
bagi para arwah seratus tahun yang lalu.
‘Kalau Sonya itu pengalihan dari arwah yang
sempat menyerang Stella, berarti sekarang kedua arwah dari kasus yang berbeda
itu sedang bersemayam di suatu tempat. Ahh… bukan. Mungkin kedua arwah itu lagi
mengincar seseorang…’ gue mencoba berpikir sembari melangkahkan kaki
menelusuri pantai. Berbeda dari sebelumnya, saat ini pantai sangat sepi… Tidak
ada tanda-tanda kehidupan biarpun dari lautan.
“Ah!” Gue
terkaget karena baru saja merasakan sakit di bagian kepala, lagi. Persis
seperti kejadian di atas bangunan berbau busuk tadi.
“Kenapa, Ziz?”
Budi dan Didit menghampiri gue.
“Entah… tapi gue
rasa, kita perlu nemuin Kak Rica secepatnya. Banyak yang mau gue tanya,” kata
gue sambil perlahan mencoba jalan kembali.
Malam itu… gue
merasa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan…
“Ahhh…” Budi
sejak tadi menjulurkan lidah seperti seorang yang kepanasan karena
bertahun-tahun menjomblo di gurun pasir. “Gue capek…”
“Iya, sih… gue
juga…” tambah Didit. Menurut hipotesa gue, mungkin berat badannya berkurang
sekitar 3 kilo karena pencarian ini. Gue sendiri merasa tidak fit, karena jelas saja… kita sudah jalan
MENGELILINGI pulau. Dan itu… CAPEK!
Akhirnya kami
bertiga sampai di titik awal kejadian aneh sepanjang hari ini. Iya, di pos
tempat bapak-bapak misterius menunggu kami untuk di antar ke villa Didit, saat baru pertama sampai di
sini.
“Perasaan gue
makin nggak enak…” keluh gue yang memang merasakan ada sesuatu yang ganjil. ‘Tapi… apa…?’
“Jangan
dipaksain dulu, Ziz. Ntar kepala loe malah tambah pening,” kata Budi.
“Emm…”
Sedang tenggang
sebentar, tiba-tiba tidak sengaja Didit melihat ke arah jalan setapak. Dia
sempat terkaget sebentar hingga membuat gue dan Budi bertanya-tanya. Kami
berdua melihat ke mana Didit juga melihat. Dan alangkah terkejutnya kami,
ketika melihat bapak-bapak misterius yang awalnya mengantarkan kami itu, sedang
asik menghisap rokok sambil berdiri santai di pinggiran jalan setapak.
“Ah!” Kepala gue
bereaksi kembali. “Hey!! Kakek tua!! Ngapain di situ??!!”
“Woy, kakek
bangkotan!! Jawab, jangan nyengir doang!!” Budi juga ikutan emosi. Mungkin
masih sakit hati karena bapak itu pernah membohongi kami berdua saat mencari
Cindy tadi siang.
“Eh! Bego banget
loe, ngatain bapak itu. Kesambet baru tau rasa, loe!” seru Didit ke Budi… tapi
dengan bisik-bisik.
Bapak itu
mendekat… dan semakin mendekat. Kami bertiga, malah melakukan sebaliknya.
Perlahan… mundur…
Ini bukan
masalah ketakutan anak muda pada seorang bapak berusia lanjut, tapi lebih
kepada anak muda, yang takut dengan segerombolan setan! Iya… di belakang bapak
itu, telah berjalan sekitar puluhan boneka jadul yang persis seperti yang kami
lihat di hutan bagian dalam gerbang tua. Mungkin tidak semua, tapi sebagian
dari boneka itu saja bahkan sudah cukup untuk membuat kami tidak bisa
mengeluarkan suara.
Perlahan bapak
itu semakin mendekat. Boneka-boneka yang mengikutinya di belakang, perlahan
juga terlihat semakin menyeramkan karena efek cahaya bulan yang posisinya
hampir tepat di atas kepala. Kami bergidik. Mengerikan…
“Hoyy!!
Berenti!! Dasar kakek setan!!” teriak Budi lagi.
‘Setan?’ pikir gue. “Jangan-jangan anda…
Si Buronan?!” Gue berteriak juga.
Bapak itu hanya
tersenyum. Perlahan ia berhenti tidak jauh di hadapan kami bertiga. Mungkin
orang tua ini sengaja tidak melangkah lagi, agar kami tidak semakin mundur ke
belakang. Saat ini… tepat di belakang kami adalah jurang belakang pulau yang
memisahkan pulau ini dengan kota. Tentu akan mematikan walau hanya satu langkah
saja kami berjalan ke belakang.
Kami terjebak…
Bapak itu
perlahan menggerakkan mulutnya. Entah bahasa apa yang ia gunakan, kami tidak
mengerti. Sampai akhirnya, sesuatu terjadi… untuk menjawab pertanyaan kami.
Terlihat dari
sini, perlahan muncul sinar merah di langit, sekitar villa Didit. Tidak lama kemudian kumparan asap hitam menyusul.
Hingga akhirnya, percikan api mulai terlihat seolah ingin mencapai langit. Villa Didit… terbakar…
“Dit! Gimana,
nih?! Semuanya masih ada di sana!!!” Budi mulai panik. Bagaimana tidak, Budi
baru saja menemukan Cindy dan memberinya kesempatan untuk beristirahat. Tapi
malah jadi seperti ini.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!”
Kepala gue seperti mau pecah. Bukan. Seperti akan… menghilang.
“Ziz?!!!” Didit
mencoba memapah gue agar bisa berdiri. Sebelumnya gue hampir saja jatuh ke
belakang. Ke jurang.
“Cihh!! Kakek
sialan!!!” teriak Budi dengan ancang-ancang ingin maju ke arah bapak itu.
“Jangan, Bud!”
Gue menghalangi. “Gue sudah paham… biarin aja…”
“Ha??” Mereka
berdua bingung mendengar kata-kata gue. Baru saja, gue mendapat bisikan yang
langsung menembus saraf otak gue. Baru saja juga, semua sejarah pulau ini,
berputar di kepala gue. Semua.
“Makasih, dasar
kakek tua… Hehehe,” kata gue sambil tertawa. Perlahan rasa sakit di kepala gue
sudah mulai lenyap. Berasamaan dengan itu, bayangan bapak tua dan
boneka-bonekanya itu, juga ikut menghilang.
“Maksud loe,
apa, Ziz?” Didit bertanya.
“Ntar gue
ceritain, ya. Yang penting kita ketemu yang lain dulu.”
Kami bertiga
menuju jalan setapak. Selama berlari, Budi tidak hentinya menyebut-nyebut nama
Cindy dengan nada khawatir. Gue tersenyum sebentar, lalu ikut memanggil-manggil
Stella juga. Gue lihat Didit. “Mau nyebut nama siapa?”
Didit juga
sedikit tersenyum. Saat itu, kami bertiga benar-benar khawatir dengan orang
yang kami sayangi. Sembari membelah jalan setapak, di tengah kesunyian hutan
yang bersatu dengan lirih percikan api, kami bertiga berteriak…
“SONYA!!!”
“CINDY!!!”
“STELLA..!!!!!”
“Uwaaahhh!! Cin,
kamu nggak apa-apa kan? Mana yang lecet? Biar aku pijit!” seru Budi saat
bertemu Cindy yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa.
“Nggak apa-apa,
kok. Kamu juga kayaknya nggak kenapa-kenapa. Tadi nggak sempat kesambet setan,
kan? Hohoho…” balas Cindy.
“Emang kamu
lupa? ‘Kan kamu yang kesambet. Huehehehe…” Budi tertawa dengan lepas. Dasar
pasangan aneh.
Gue lihat yang
lain pada ketakutan juga. Kini kami tengah menelusuri jalan menuju arah pantai.
Lagi-lagi jalan kaki… Maklum, nggak ada angkot yang trayek-nya di wilayah ini.
Kami menjauh dari kepulan asap dan panasnya hawa api yang membakar villa Didit. Menuju pantai bersama-sama
seperti ini mungkin jalan yang terbaik untuk saat ini.
Di paling depan
ada Adit. Melody yang terlihat sedikit gemetar karena peristiwa kebakaran tadi,
dengan erat merangkulkan tangan kirinya di pinggang Adit. Wajahnya terlihat
ketakutan. Ega di samping mereka, berjalan perlahan sambil menggenggam tangan
Ve.
Ozi, Ochi,
Abeck, dan Sendy, mengikuti di belakang mereka dengan saling bergandengan
tangan satu sama lain.
Di tengah-
tengah, ada Didit dan Sonya. Kelihatan wajah mereka saling khawatir satu sama
lain. Didit khawatir akan kebakaran itu yang mungkin akan mengakibatkan sesuatu
kepada Sonya. Sedangkan Sonya sendiri terlihat khawatir melihat Didit yang
nampak kelelahan setelah semalaman melakukan pencarian bersama gue dan Budi.
Di depan gue,
ada Budi yang dengan eratnya tidak melepaskan genggaman Cindy. Sejak kami tiba
di pulau ini, mereka adalah pasangan yang mengalami ujian terberat. Wajar jika
satu sama lain tidak ingin berpisah lagi. Tangan kanan Cindy juga memegang erat
Ayu yang terlihat lebih shock karena
peristiwa tadi.
Barisan paling
belakang ada gue, dengan merangkul adik gue, Dhike, di sebelah kiri. Gue
benar-benar mengkhawatirkan adik cerewet gue yang satu ini. Namun, ada seorang lagi
yang ‘paling’ gue khawatirkan. Sosok gadis berparas manis dengan wajah sedikit
pucat di sebelah kanan gue. Stella. Tangannya menggenggam erat jari-jari gue.
Sementara di sisi lain, dia merangkul Sonia, adiknya.
Benar-benar
penuh keheningan. Hingga akhirnya kami berkumpul di arah pantai. Mungkin ini
adalah daerah paling aman saat ini. Jauh dari hutan yang menyeramkan. Serta
terjaga dari kobaran api yang bisa saja akan meluas untuk melahap pepohonan di
sekitar villa.
“Jadi… gue mau
cerita sesuatu…” Gue memulai pembicaraan. Saat ini kami telah duduk di
pinggiran laut dengan beralaskan batang pohon besar yang ditemukan Didit, Ega,
dan Abeck. Karena menjelang subuh, air yang sedang pasang telah menyentuh
kaki-kaki kami. Dengan penerangan seadanya, berupa beberapa senter yang sempat
diselamatkan dari villa, gue
menjelaskan apa yang gue lihat sewaktu bertemu bapak tua di belakang pulau
tadi.
“Pertama, yang
perlu kalian tau, villa itu dulunya
adalah tempat tinggal seorang Dokter Gila yang mencoba melakukan eksperimen
terhadap para korban penyakit seratus tahun silam. Lalu… bapak yang mengantar
kita saat pertama datang ke pulau ini, adalah buronan yang kabur sekitar lima
puluh tahun lalu”
“Sudah gue
duga…” Abeck berbicara. Sendy menenangkan dengan menggenggam semakin erat jari
jemari Abeck.
“Trus… orang
yang pernah ketemu kita dua tahun lalu waktu liburan pertama kali di sini,
adalah anak dari buronan itu.”
“Hah?! Temennya
bokap gue itu?” Ve merespon.
“Yaa…” Gue
menarik nafas sebentar. Gue lihat di sebelah gue, Stella memberikan senyuman.
Benar-benar penambah semangat tersendiri buat gue.
“Sebenernya yang
masukin pikiran gue selama ini, sampai gue jadi sering ngerasa kalau kepala ini
mau pecah pas tiba di pulau ini, ya bapak tua itu”
“Ha??!” Kali ini
hampir semua teman-teman gue terkaget.
“Iya… jadi tadi
gue dapet gambaran gitu, dari si bapak-bapak yang gue, Didit, sama Budi
ketemuin di belakang. Begini…”
Tidak sedikit
yang tahu, jika pulau ini menyimpan setidaknya beberapa titik timbunan emas
murni yang terletak di suatu sudut pulau. Dokter Gila penghuni villa, adalah pengincar pertama lahan
emas itu. Namun, karena tempat ini malah menjadi tempat pengasingan, Dokter
yang haus akan eksperimen itu melupakan hasrat akan harta, demi tujuan lain
yang dianggapnya lebih penting.
Dokter itu sering melakukan eksperimen yang
di luar logika. Beliau mencoba mencari jalan penghubung, antara dunia manusia
dengan dunia roh, agar ia bisa menghidupkan kembali orang mati. Tempat
eksperimen sekaligus wadah ritualnya, adalah bangunan berbentuk tabung yang
berbau busuk itu. Namun semua hanya semu. Sampai akhirnya, Dokter itu tewas
secara mengenaskan di villa, karena
pekatnya teror pulau ini.
Selang berpuluh
tahun kemudian, seorang buronan yang melarikan diri ke pulau ini sempat masuk ke
dalam villa tua yang tidak
berpenghuni lagi itu. Villa bekas
Dokter Gila. Villa Didit yang terbakar…
Melihat serpihan
seperti pasir berwarna putih, Sang Buronan, atau Si Bapak-Tua-Belakang-Pulau,
makin terkejut saat melihat sebuah tengkorak kepala manusia. Masih utuh, masih
kuat, dan tanpa debu… Semenjak saat itulah, Sang Buronan juga sering mengalami
keanehan. Salah satunya dengan mengoleksi boneka di kebun belakang pulau. Bagi
dia, itu dilakukan agar arwah para anak perempuan pada seratus tahun silam,
bisa tenang dan tidak meminta tumbal.
Selepas
meninggalnya Sang Buronan, datanglah Ayah Ve, orangtua Gaby, dan anak sang
buronan itu sendiri. Tentu saja Anak Buronan itu tidak memberitahukan identitas
sebenarnya kepada Ayah Ve dan kawan-kawan. Hanya saja, mereka memang kebetulan
memiliki keahlian di bidang yang sama.
Di tengah
penelitian mengenai tumbuhan beracun dan anggapan atas kekejaman pemerintah
zaman dulu, anak buronan itu sempat menetap agak lama di villa Dokter Gila, tanpa ingin ditemani. Rupanya ia telah menemukan
catatan harian si Dokter Gila sehingga tiba-tiba menjadi berhasrat juga untuk
menemukan tambang emas yang kabarnya ada di pulau ini. Sampai akhirnya keempat
ilmuan itu kembali dan menjadi incaran pihak pemerintah, hanya sang anak
buronan lah yang sering mampir ke pulau ini untuk memulai ritual hasil
pembelajarannya dari catatan si Dokter Gila.
Langkah pertama
diambil dengan membeli pulau ini sekitar 10 tahun yang lalu. Tentu saja pulau ini
dibeli atas nama istri dari Anak Buronan itu. Karena Anak Buronan itu pun,
sudah menjadi incaran aparat juga. Selanjutnya, setelah sekian tahun membeli
pulau ini, pengunjung tetap sepi dan kebanyakan hanya beberapa turis lansia
yang sekedar numpang lewat. Sampai akhirnya, lima tahun lalu, si anak buronan
itu menemukan sebuah keluarga yang diterornya agar menyerahkan anak gadis untuk
dijadikan tumbal. Anak gadis itu… Kak Rica.
Saat itu, lima
tahun yang lalu, Kak Rica datang sendirian ke pulau ini karena terus-terusan
mendapatkan teror tidak menyenangkan baik di rumah maupun di kampusnya.
Ancamannya sederhana. Jika teror ini diceritakan kepada orang lain, maka teror
itu juga akan menghantui orang itu. Kak Rica yang tidak ingin melibatkan
keluarganya, berniat untuk menyelesaikan sendiri permasalahan ini.
Sesampainya di
pulau itu, terjadi sesuatu yang di luar kendali si anak buronan itu. Kak Rica
yang awalnya akan dipersembahakn di altar berbentuk tabung dan bau itu,
tiba-tiba menghilang dan terjadilah… putri satu-satunya dari anak buronan itu
yang menjadi tumbal pertama ritualnya. Semenjak saat itu, anak buronan itu
terus-terusan menghantui Kak Rica dengan berbagai dalil rasa bersalah. Kak Rica
yang sepertinya terpaksa, karena diberi ancaman ‘keluarga yang akan menanggung’
akhirnya membantu anak sang buronan untuk mencari tumbal selanjutnya. Hingga
sekarang, Cindy adalah salah satu ‘calon’ tumbal yang terselamatkan.
“Bego banget…
Cuma gara-gara salah bedain antara ‘catatan harta’ dan ‘catatan eksperimen gagal’,
semua jadi rumit begini” kata Adit sambil menghela nafas.
“Bener, tuh.
Gara-gara Si dokter aneh bin ajaib itu nyatat semua kegiatan absurd-nya dengan label ‘catatan harta’
malah jadi salah paham sampai temen bokapnya Ve ikutan sesat..” Ozi
menambahkan.
“Ya… gitu, deh.
Awalnya memang karena harta, mungkin karena itu judul catatan Si dokter itu ya
tentang harta. Tapi karena dia udah ngelupain itu, karena udah sering
eksperimen, malah catatannya jadi sesat. Haduuh…” gue meberikan kesimpulan.
“Tapi…” Stella
tiba-tiba menyela, “Katanya waktu kalian ke sini dua tahun yang lalu, Aziz
sempat jadi aneh gitu ya?”
“Yaelaah… Aziz
dari zaman dinosaurus masih belajar ngupil, juga udah aneh kaleee…” Budi asal
cerocos. Gue pasang wajah model penggosok jamban.
“Iya, sih… Kalau
dipikir-pikir, kenapa waktu itu malah si anak buronan itu yang nyembuhin loe
pas kejang-kejang?” Melo ikut nimbrung.
“Simple aja, sih… Mungkin dia tau kalo
badan gue lagi jadi ‘tempat’ arwah bokapnya, Si buronan tukang ngumpulin boneka
itu. Bisa saja sebenernya niat Si buronan adalah memperingatkan kesalahan
anaknya, melalui gue. Habisnya, niat Si buronan menetap di pulau ini hanya
ingin menentramkan arwah anak gadis dengan cara hanya menumbalkan boneka. Bukan
manusia kayak anaknya dan kayak dokter gila di zaman dulu. Maka itu, pulau ini
memiliki dua kasus. Pertama, para korban dokter gila. Dan kedua, para roh anak
gadis penikmat boneka…” Gue memperjelas.
Kini, misteri
pulau ini sudah bisa terbaca jelas. Sampai tiba-tiba… Didit menundukkan
kepalanya.
“Kenapa…?” Sonya yang sejak tadi berada di sampingnya, adalah orang
yang paling pertama merespon perubahan sikapnya.
Didit perlahan mengangkat kepalanya. “Tapi… kenapa harus keluarga
gue?”
Kami terdiam. Gue sendiri, jujur, belum mendapatkan bayangan apa-apa
tentang alasan kenapa keluarga Didit, khususnya Kak Rica, menjadi terlibat
dalam kasus mengerikan ini.
“Cuma dia yang bisa ngejawab, Dit… Kak Rica. Kakak loe…” Gue hanya
bisa mengucapkan itu.
“Kalau gitu… tunggu hari sudah terang aja, deh… kita lanjutin…” kata
Didit, dengan nada putus asa.
“Heey… Kak Rica itu kakak loe. Masa nggak khawatir?” tanya Budi yang
kelihatannya masih punya semangat untuk melakukan pencarian sekali lagi.
Hedeeh… dasar anak muda…
Didit kembali menundukkan wajahnya.
“Aku rasa bukan begitu…” tiba-tiba Sonya bersuara kembali. “Justru
karena Kak Rica adalah kakak Didit, makanya dia percaya, kalau kakaknya kuat
dan pasti bisa melalui ini semua… Selain itu, kita nggak mungkin ‘kan berbuat
aneh lagi, sampai terjadi sesuatu yang membahayakan lagi? Kak Rica sudah
berjuang. Kita malah sia-sia-in.”
Budi mengangguk karena merasa kena khotbah special dari sepupunya sendiri.
Kalau gue pikir-pikir sih, benar juga apa kata Sonya. Mungkin lebih
baik… tunggu suasana benar-benar aman. Nanti jika saat itu tiba, kemungkinan
besar Kak Rica juga akan bertahan demi kami. Ya…
Hari semakin dingin. Angin bertiup kencang dengan tidak teratur di
sini. Perlahan kami lihat api di villa
sudah mulai meredup dan syukur saja, tidak menyebar ke hutan. Perlahan kami terlelap
dalam lamunan masing-masing. Khususnya gue, ini benar-benar ulang tahun
ter-kampret-WOY sepanjang kehidupan gue.
Gue lihat Dhike yang menggandeng tangan gue di sebelah kiri, mulai
menyandarkan kepalanya di bahu gue.
“Tidur aja, kalau capek…” kata gue.
“Nggak kok, Kak… Aku masih tahan. Hehehe…”
“Dasar kamu ini…”
Di samping kanan gue, Stella terlihat sedang mengelus ubun-ubun
kepala adiknya. Kasih sayang Stella terhadap adiknya sudah tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Gue… semakin merasa… suka…
Pukul tiga kurang lima menit.
Cuaca semakin dingin. Hidung gue bahkan sudah tidak sanggup
mengeluarkan cairan lagi. Iya… cairannya malah sudah membeku. Beberapa hidung
amatir seperti Ega dan Ozi, sejak tadi tidak henti-hentinya berlomba
mengeluarkan (maap) ingus, sehingga memenuhi pasir pantai. Kami hanya
terlindungi oleh beberapa lapis baju hangat. Ternyata masih tidak bisa menahan
hawa pantai ini.
“Agak kepinggiran, yuk… Lagian apinya juga udah padam..” tiba-tiba
Ayu berbicara. ‘Betul juga…’ batin
gue menyetujui.
“Ayuk deh… makin dingin, nih…” seru Abeck yang sejak tadi selalu
menempel ke Sendy. Alibinya sih, kedinginan. Untuk alasan lain, gue belum bisa
ceritakan aib-nya. Muehehehehe.
Saat sedang menuju ke arah darat, tiba-tiba terdengar seperti ada
suara kaki yang mengejar. Dari arah… laut…
Sontak kami mencoba memperhatikan. Adit mengarahkan senternya ke
arah laut. Benar saja, Kak Rica, sedang berusaha mengejar kami dengan langkah
terseok-seok dan seluruh tubuh… dipenuhi darah.
“Kakak!!” Tanpa pikir panjang, Didit lalu menghampiri Kak Rica yang
muncul entah dari mana itu. Masa iya,
dari dalam laut?
Didit merangkul kakak yang paling disayangnya itu. Perlahan ia
memapahnya, dan menuntun langkah Kak Rica menuju tempat kami berkumpul.
“Kak… kenapa kakak bisa kayak gini?” tanya Didit yang sedih melihat
Kak Rica yang tubuhnya dipenuhi darah.
“Hahaha… dasar cowok unyu kamu, ya. Tapi adek yang baik…” Lalu Kak
Rica tersenyum. Yang lain memasang wajah heran. Gue juga demikian. ‘Kenapa Kak Rica bisa sesantai ini…?’
“Ada yang bisa pinjemin jaketnya nggak?” lanjut Kak Rica.
“Ah.. kebetulan gue pakai 3 lapis jaket” kata Budi, lalu melepas
jaket yang dikenakannya paling luar.
“Yeaaaay… pantes dari tadi dia sok tegar sendiri. Jaketnya banyak…”
Cindy melirik sinis ke arah Budi.
“Loh… bukannya kalau aku keren, kamu juga yang bangga.” Budi
sumringah.
Kami semua tertawa melihat gaya kocak pasangan ‘kecil’ ini.
Kembali ke Kak Rica, ia menggunakan jaket tadi untuk membersihkan
darah yang memenuhi wajah, tubuh, bahkan pakaiannya. Ternyata… tidak ada bekas
luka sedikitpun.
“Loh… kok bisa gitu, Kak?” tanya gue.
“Hehehe… ini bukan darah aku… Ini darah hasil kerja keras kalian.”
“Ha??!” Kami semua tidak mengerti.
“Semenjak meninggalnya anak pemilik pulau terdahulu, keluarga aku
dikenakan semacam kutukan. Dan jika ada yang berhasil menggagalkan ritual, yang
bukan dari anggota keluargaku, maka kutukan itu akan lepas..”
“Waduh… rumit dimengerti, Kak. Malah kayak cerita Sinetron Laga,”
celetuk Adit.
“Hahaha… Tapi bukan itu masalahnya. Kita coba anggap kalau kutukan
itu memang suatu hal yang lumrah. Dan ke permasalahan utama… Kenapa harus
keluarga Kak Rica?” tanya gue lagi.
“Iya, Kak. Kenapa harus keluarga kita?” Didit menambahkan.
“Itu karena… komando barisan depan pemerintah saat insiden seratus
tahun yang lalu, adalah keluarga Pandoras…”
“Ooohh…” semua mulai memahami. Iya, nama panjang Didit adalah Didit
Carl Pandoras. Sedangkan kak Rica, adalah Rica Yoona Pandoras. Misteri ini
benar-benar sudah menemukan titik terang.
“Bisa dibilang, keluarga kita adalah penyebab mengapa pulau ini jadi
tempat yang mengerikan…” kata Kak Rica kepada Didit. Didit hanya mengangguk.
Menurut gue, anggukannya itu bukan tanda mengerti, melainkan tanda kalau dia
kelaparan.
Kruyuuukk~
Ternyata… perut gue yang duluan berkicau.
“Ziz, nyaring banget bunyi perutnya. Ahahaha,” kata Stella dengan
penuh tawa.
“Aaah… itu suara kentutnya Budi”
“Eh, kampret… gue kalau kentut nggak mengerikan begitu. Weee,” Budi
membalas disertai juluran lidah. Tiba-tiba…
Preeeeeeeeett… prututut… tetut tetut… preet…
Budi kentut.
“WOAHAHAHAHAHAHA!!!”
Semua tertawa, seiring dengan berakhirnya misteri pulau ini, dan
persiapan mental untuk menyambut pagi yang indah…
Untuk episode selanjutnya (part 29); “Segala macam
kegalauan akan misteri pulau milik Didit telah terpecahkan. Selagi menunggu
pagi, keindahan weekend yang
sebenarnya, telah dirasakan Aziz dan kawan-kawan”.
Baca kelanjutannya, DI SINI
0 Comments
Eiits... jangan buru-buru exit dulu. Sebagai Pria Cakep Biasa, gue punya banyak cerita lain. Baca-baca yang lain juga ya... Terima kasih :)